Bahasa Jurnalistik
Oleh Irfa
Razak
IRFAnesia, Bahasa jurnalistik atau biasa disebut dengan bahasa pers, merupakan salah satu ragam bahasa kreatif bahasa Indonesia di samping terdapat juga ragam bahasa akademik (ilmiah), ragam bahasa usaha (bisnis), ragam bahasa filosofik, dan ragam bahasa literer (sastra) (Sudaryanto, 1995). Dengan demikian bahasa jurnalistik memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang membedakannya dengan ragam bahasa yang lain.
Bahasa jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan oleh wartawan
(jurnalis) dalam menulis karya-karya jurnalistik di media massa (Anwar, 1991).
Dengan demikian, bahasa Indonesia pada karya-karya jurnalistiklah yang bisa
dikategorikan sebagai bahasa jurnalistik atau bahasa pers.
BACA JUGA: CARA MENULIS BERITA
Bahasa Jurnalistik Menurut Para Ahli
BAHASA Jurnalistik adalah gaya bahasa yang digunakan wartawan dalam
menulis berita. Disebut juga Bahasa Komunikasi Massa (Language of Mass
Communication, disebut pula Newspaper Language), yakni bahasa yang digunakan
dalam komunikasi melalui media massa, baik komunikasi lisan (tutur) di media
elektronik (radio dan TV) maupun komunikasi tertulis (media cetak dan online),
dengan ciri khas singkat, padat, dan mudah dipahami.
Bahasa Jurnalistik memiliki dua ciri utama : komunikatif dan spesifik.
Komunikatif artinya langsung menjamah materi atau langsung ke pokok persoalan
(straight to the point), bermakna tunggal, tidak konotatif, tidak
berbunga-bunga, tidak bertele-tele, dan tanpa basa-basi. Spesifik artinya
mempunyai gaya penulisan tersendiri, yakni kalimatnya pendek-pendek,
kata-katanya jelas, dan mudah dimengerti orang awam.
Bahasa Jurnalistik hadir atau diperlukan oleh insan pers untuk
kebutuhan komunikasi efektif dengan pembaca (juga pendengar dan penonton).
Rosihan Anwar : Bahasa yang digunakan oleh wartawan dinamakan bahasa
pers atau bahasa jurnalistik. Bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas
yaitu : singkat, padat, sederhana, lancer, jelas, lugas, dan menarik. Bahasa
jurnalistik didasarkan pada bahasa baku, tidak menganggap sepi kaidah-kaidah
tata bahasa, memperhatikan ejaan yang benar, dalam kosa kata bahasa jurnalistik
mengikuti perkembangan dalam masyarakat.
Wojowasito : Bahasa jurnalistik adalah bahasa komunikasi massa sebagai
tampak dalam harian-harian dan majalah-majalah. Dengan fungsi yang demikian itu
bahasa tersebut haruslah jelas dan mudah dibaca oleh mereka dengan ukuran
intelek yang minimal. Sehingga sebagian besar masyarakat yang melek huruf dapat
menikmati isinya. Walaupun demikiantuntutan bahwa bahasa jurnalistik harus
baik, tak boleh ditinggalkan. Dengan kata lain bahasa jurnalistik yang baik
haruslah sesuai dengan norma-norma tata bahasa yang antara lain terdiri atas
susunan kalimat yang benar, pilihan kata yang cocok.
Yus Badudu: bahasa suratkabar harus singkat, padat, sederhana, jelas,
lugas, tetapi selalu menarik. Sifat-sifat itu harus dipenuhi oleh bahasa surat
kabar mengingat bahasa surat kabar dibaca oleh lapisan-lapisan masyarakat yang
tidak sama tingkat pengetahuannya. Mengingat bahwa orang tidak harus
menghabiskan waktunya hanya dengan membaca surat kabar. Harus lugas, tetapi
jelas, agar mudah dipahami. Orang tidak perlu mesti mengulang-ulang apa yang
dibacanya karena ketidakjelasan bahasa yang digunakan dalam surat kabar.
Asep Syamsul M. Romli: Bahasa Jurnalistik/Language of mass
communication. Bahasa yang biasa digunakan wartawan untuk menulis berita di
media massa. Sifatnya : (1) komunikatif, yakni langsung menjamah materi atau ke
pokok persoalan (straight to the point), tidak berbunga-bunga, dan tanpa
basa-basi. Serta (2) spesifik, yakni jelas atau mudah dipahami orang banyak,
hemat kata, menghindarkan penggunaan kata mubazir dan kata jenuh, menaati
kaidah-kaidah bahasa yang berlaku (Ejaan yang disempurnakan), dan kalimatnya
singkat-singkat. (Materi Kuliah ”Bahasa Jurnalistik” Jurusan Jurnalistik
Fakultas Dakwah & Komunikasi UIN SGD Bandung. Copyrights (c) ASM.
Romli, www.romeltea.co.nr).*
Bahasa jurnalistik itu sendiri juga memiliki karakter yang berbeda-beda
berdasarkan jenis tulisan apa yang akan terberitakan. Bahasa jurnalistik yang
digunakan untuk menuliskan reportase investigasi tentu lebih cermat bila
dibandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam penulisan features. Bahkan bahasa jurnalistik pun sekarang sudah
memiliki kaidah-kaidah khas seperti dalam penulisan jurnalisme perdamaian (McGoldrick dan Lynch,
2000). Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis berita utama ada yang
menyebut laporan utama, forum utama akan berbeda dengan bahasa jurnalistik yang
digunakan untuk menulis tajuk dan features. Dalam menulis banyak faktor yang
dapat mempengaruhi karakteristik bahasa
jurnalistik karena penentuan masalah, angle tulisan, pembagian tulisan, dan
sumber (bahan tulisan). Namun demikian sesungguhnya bahasa jurnalistik tidak
meninggalkan kaidah yang dimiliki oleh ragam bahasa Indonesia baku dalam hal
pemakaian kosakata, struktur sintaksis dan wacana (Reah, 2000). Karena berbagai
keterbatasan yang dimiliki surat kabar (ruang, waktu) maka bahasa jurnalistik
memiliki sifat yang khas yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas
dan menarik. Kosakata yang digunakan dalam bahasa jurnalistik mengikuti
perkembangan bahasa dalam masyarakat.
Sifat-sifat tersebut merupakan hal yang harus dipenuhi oleh ragam
bahasa jurnalistik mengingat surat kabar dibaca oleh semua lapisan masyarakat
yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Dengan kata lain bahasa jurnalistik
dapat dipahami dalam ukuran intelektual minimal. Hal ini dikarenakan tidak
setiap orang memiliki cukup waktu untuk membaca surat kabar. Oleh karena itu
bahasa jurnalistik sangat mengutamakan kemampuan untuk menyampaikan semua
informasi yang dibawa kepada pembaca secepatnya
dengan mengutamakan daya komunikasinya.
Dengan perkembangan jumlah pers yang begitu pesat pasca pemerintahan
Soeharto lebih kurang ada 800 pelaku pers baru bahasa pers juga menyesuaikan
pasar. Artinya, pers sudah menjual
wacana tertentu, pada golongan tertentu, dengan isu-isu yang khas.
Pemakaian Bahasa Jurnalistik
Terdapat berbagai penelitian
yang terkait dengan bahasa, pikiran, ideologi, dan media massa cetak di
Indonesia. Anderson (1966, 1984) meneliti pengaruh bahasa dan budaya Belanda serta Jawa dalam
perkembangan bahasa politik Indonesia modern, ketegangan bahasa Indonesia yang
populis dan bahasa Indonesia yang feodalis.
Naina (1982) tentang perilaku pers Indonesia terhadap kebijakan
pemerintah seperti yang termanifestasikan dalam Tajuk Rencana. Hooker (1990)
meneliti model wacana zaman orde lama dan orde baru. Penelitian tabor Eryanto
(2001) tentang analisis teks di media massa. Dari puluhan penelitian yang
breakout dengan pers, tenyata belum terdapat penelitian yang secara khusus
memformulasikan karakteristik (ideal) bahasa jurnalistik berdasarkan induksi
karakteristik bahasa pers yang
termanifestasikan dalam kata, kalimat, dan wacana.
Di awal tahun 1980-an terbersit berita bahwa bahasa Indonesia di media
massa menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia baku. Roni Wahyono (1995)
menemukan kemubaziran bahasa wartawan di Semarang dan Yogyakarta pada aspek
gramatikal (tata bahasa), leksikal (pemilihan kosakata) dan ortografis (ejaan).
Berdasarkan aspek kebahasaan, kesalahan tertinggi yang dilakukan wartawan
terdapat pada aspek gramatikal dan kesalahan terendah pada aspek ortografi.
Berdasarkan jenis berita, berita olahraga memiliki frekuensi kesalahan
tertinggi dan frekuensi kesalahan terendah pada berita kriminal. Penyebab
wartawan melakukan kesalahan bahasa dari faktor penulis karena minimnya
penguasaan kosakata, pengetahuan kebahasaan yang terbatas, dan kurang bertanggung jawab
terhadap pemakaian bahasa, karena kebiasaan lupa dan pendidikan yang belum
baik. Sedangkan faktor di luar penulis, yang menyebabkan wartawan melakukan
kesalahan dalam menggunakan bahasa Indonesia karena keterbatasan waktu menulis,
lama kerja, banyaknya naskah yang dikoreksi, dan tidak tersedianya redaktur
bahasa dalam surat kabar.
Walaupun di dunia penerbitan telah ada buku-buku jurnalistik praktis
karya Rosihan Anwar (1991), Asegaf (1982), Jacob Oetama (1987), Ashadi Siregar,
dll, namun masih perlu dimunculkan petunjuk akademik maupun teknis pemakaian
bahasa jurnalistik. Dengan mengetahui karakteristik bahasa pers
Indonesia—termasuk sejauh mana mengetahui penyimpangan yang terjadi, kesalahan
dan kelemahannya,-- maka akan dapat diformat pemakaian bahasa jurnalistik yang
komunikatif.
Terdapat beberapa penyimpangan bahasa jurnalistik dibandingkan dengan
kaidah bahasa Indonesia baku:
1. Peyimpangan morfologis. Peyimpangan ini sering terjadi dijumpai pada
judul berita surat kabar yang memakai kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja
tidak baku dengan penghilangan afiks. Afiks pada kata kerja yang berupa prefiks
atau awalan dihilangkan. Kita sering menemukan judul berita misalnya, Polisi
Tembak Mati Lima Perampok Nasabah Bank. Israil Tembak Pesawat Mata-mata.
Amerika Bom Lagi Kota Bagdad.
2. Kesalahan sintaksis. Kesalahan berupa pemakaian tatabahasa atau
struktur kalimat yang kurang benar sehingga sering mengacaukan pengertian. Hal
ini disebabkan logika yang kurang bagus. Contoh: Kerajinan Kasongan Banyak
Diekspor Hasilnya Ke Amerika Serikat. Seharusnya Judul tersebut diubah Hasil
Kerajinan Desa Kasongan Banyak Diekspor Ke Amerika. Kasus serupa sering dijumpai baik di koran lokal
maupun koran nasional.
3. Kesalahan kosakata. Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan
kesopanan (eufemisme) atau meminimalkan dampak buruk pemberitaan. Contoh:
Penculikan Mahasiswa Oleh Oknum Kopasus itu Merupakan Pil Pahit bagi ABRI.
Seharusnya kata Pil Pahit diganti kejahatan. Dalam konflik Dayak-Madura, jelas
bahwa yang bertikai adalah Dayak dan Madura, tetapi wartawan tidak menunjuk
kedua etnis secara eksplisit. Bahkan di era rezim Soeharto banyak sekali
kosakata yang diekspose merupakan kosakata yang menekan seperti GPK, subversif,
aktor intelektual, ekstrim kiri, ekstrim kanan, golongan frustasi, golongan
anti pembangunan, dll. Bahkan di era kebebasan pers seperti sekarang ini,
kecenderungan pemakaian kosakata yang bias makna semakin banyak.
4. Kesalahan ejaan. Kesalahan ini hampir setiap kali dijumpai dalam
surat kabar. Koran Tempo yang terbit 2 April 2001yang lalu tidak luput dari
berbagai kesalahan ejaan. Kesalahan ejaan juga terjadi dalam penulisan kata,
seperti: Jumat ditulis Jum’at, khawatir ditulis hawatir, jadwal ditulis jadual,
sinkron ditulis singkron, dll.
5. Kesalahan pemenggalan. Terkesan setiap ganti garis pada setiap kolom
kelihatan asal penggal saja. Kesalahan ini disebabkan pemenggalan bahasa
Indonesia masih menggunakan program komputer berbahasa Inggris. Hal ini sudah
bisa diantisipasi dengan program pemenggalan bahasa Indonesia.
Untuk menghindari beberapa kesalahan seperti diuraikan di atas adalah
melakukan kegiatan penyuntingan baik menyangkut pemakaian kalimat, pilihan
kata, dan ejaan. Selain itu, pemakai bahasa jurnalistik yang baik tercermin
dari kesanggupannya menulis paragraf yang baik. Syarat untuk menulis paragraf
yang baik tentu memerlukan persyaratan menulis kalimat yang baik pula. Paragraf
yang berhasil tidak hanya lengkap pengembangannya tetapi juga menunjukkan
kesatuan dalam isinya. Paragraf menjadi rusak
karena penyisipan-penyisipan yang tidak bertemali dan pemasukan kalimat
topik kedua atau gagasan pokok lain ke dalamnya.
Oleh karena itu seorang penulis seyogyanya memperhatikan pertautan
dengan memperhatikan kata ganti; (b)
gagasan yang sejajar dituangkan dalam kalimat sejajar; manakala sudut pandang
terhadap isi kalimat tetap sama, maka penempatan fokus dapat dicapai dengan
pengubahan urutan kata yang lazim dalam kalimat, pemakaian bentuk aktif atau
pasif, atau mengulang fungsi khusus. Sedangkan variasi dapat diperoleh dengan
(1) pemakaian kalimat yang berbeda
menurut struktur gramatikalnya; (2) memakai kalimat yang panjangnya
berbeda-beda, dan (3) pemakaian urutan unsur kalimat seperti subjek, predikat,
objek, dan keterangan dengan selang-seling. Jurnalistik “gaya Tempo”
menggunakan kalimat-kalimat yang pendek dan pemakaian kata imajinatif. Gaya ini
banyak dipakai oleh berbagai wartawan yang pernah bersentuhan dengan majalah
Tempo.
Agar penulis mampu memilih kosakata yang tepat mereka dapat memperkaya
kosakata dengan latihan penambahan kosakata dengan teknik sinonimi, dan
antonimi. Dalam teknik sinonimi penulis dapat mensejajarkan kelas kata yang
sama yang nuansa maknanya sama atau berbeda. Dalam teknik antonimi penulis bisa
mendaftar kata-kata dan lawan katanya. Dengan cara ini penulis bisa memilih
kosakata yang memiliki rasa dan bermakna bagi pembaca. Jika dianalogikan dengan
makanan, semua makanan memiliki fungsi sama, tetapi setiap orang memiliki
selera makan yang berbeda. Tugas jurnalis adalah melayani selera pembaca dengan
jurnalistik yang enak dibaca dan perlu. (Slogan Tempo).
BACA JUGA: CARA MENULIS BERITA
Goenawan Mohamad pada 1974 telah melakukan “revolusi putih” (Istilah
Daniel Dhakidae) yaitu melakukan kegiatan pemangkasan sekaligus pemadatan makna
dan substansi suatu berita. Berita-berita yang sebelumnya cenderung bombastis
bernada heroik--karena pengaruh revolusi—dipangkas habis menjadi jurnalisme
sastra yang enak dibaca. Jurnalisme semacam ini setidaknya menjadi acuan atau
model koran atau majalah yang redakturnya pernah mempraktikkan model jurnalisme
ini. Banyak orang fanatik membaca koran atau majalah karena gaya jurnalistiknya, spesialisasinya,
dan spesifikasinya. Ada koran yang secara khusus menjual rubrik opini, ada pula
koran yang mengkhususkan diri dalam peliputan berita. Ada pula koran yang
secara khusus mengkhususkan pada bisnis dan iklan. Jika dicermati,
sesungguhnya, tidak ada koran yang betul-betul berbeda, karena biasanya mereka
berburu berita pada sumber yang sama. Jurnalis yang bagus, tentu akan
menyiasati selera dan pasar pembacanya.
Dalam hubungannya dengan prinsip penyuntingan bahasa jurnalistik
terdapat beberapa prinsip yang dilakukan (1) balancing, menyangkut lengkap-tidaknya
batang tubuh dan data tulisan, (2) visi tulisan seorang penulis yang
mereferensi pada penguasaan atas data-data aktual; (3) logika cerita yang
mereferensi pada kecocokan; (4) akurasi data; (5) kelengkapan data, setidaknya
prinsip 5wh, dan (6) panjang pendeknya tulisan karena keterbatasan halaman.
Prinsip Dasar Bahasa Jurnalistik
Bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa sebagai tampak
dalam harian-harian surat kabar dan majalah. Dengan fungsi yang demikian itu
bahasa jurnalistik itu harus jelas dan
mudah dibaca dengan tingkat ukuran intelektual minimal. Menurut JS Badudu
(1988) bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu singkat, padat,
sederhana, lugas, menarik, lancar dan jelas. Sifat-sifat itu harus dimiliki
oleh bahasa pers, bahasa jurnalistik, mengingat surat kabar dibaca oleh semua
lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Oleh karena itu
beberapa ciri yang harus dimiliki bahasa jurnalistik di antaranya:
1. Singkat, artinya bahasa jurnalistik harus menghindari penjelasan
yang panjang dan bertele-tele.
2. Padat, artinya bahasa jurnalistik yang singkat itu sudah mampu
menyampaikan informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan pembaca sudah
tertampung didalamnya. Menerapkan prinsip 5 wh, membuang kata-kata mubazir dan
menerapkan ekonomi kata.
3. Sederhana, artinya bahasa pers sedapat-dapatnya memilih kalimat
tunggal dan sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan kompleks.
Kalimat yang efektif, praktis, sederhana pemakaian kalimatnya, tidak berlebihan
pengungkapannya (bombastis)
4. Lugas, artinya bahasa jurnalistik mampu menyampaikan pengertian atau
makna informasi secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga .
5. Menarik, artinya dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh,
dan berkembang. Menghindari kata-kata yang sudah mati.
6. Jelas, artinya informasi yang disampaikan jurnalis dengan mudah
dapat dipahami oleh khalayak umum (pembaca). Struktur kalimatnya tidak
menimbulkan penyimpangan/pengertian makna yang berbeda, menghindari ungkapan
bersayap atau bermakna ganda (ambigu). Oleh karena itu, seyogyanya bahasa
jurnalistik menggunakan kata-kata yang bermakna denotatif. Namun seringkali
kita masih menjumpai judul berita: Tim Ferrari Berhasil Mengatasi Rally Neraka
Paris-Dakar. Jago Merah Melahap Mall Termewah di Kawasan Jakarta. Polisi
Mengamankan Oknum Pemerkosa dari Penghakiman Massa.
Dalam menerapkan ke-6 prinsip tersebut tentunya diperlukan latihan
berbahasa tulis yang terus-menerus, melakukan penyuntingan yang tidak pernah
berhenti. Dengan berbagai upaya pelatihan dan penyuntingan, barangkali akan
bisa diwujudkan keinginan jurnalis untuk menyajikan ragam bahasa jurnalistik
yang memiliki rasa dan memuaskan dahaga selera pembacanya.
Dipandang dari fungsinya, bahasa jurnalistik merupakan perwujudan dua
jenis bahasa yaitu seperti yang disebut Halliday (1972) sebagai fungsi ideasional dan fungsi tekstual
atau fungsi referensial, yaitu wacana yang menyajikan fakta-fakta. Namun, persoalan
muncul bagaimana cara mengkonstruksi bahasa jurnalistik itu agar dapat
menggambarkan fakta yang sebenarnya. Persoalan ini oleh Leech (1993) disebut retorika tekstual yaitu kekhasan
pemakai bahasa sebagai alat untuk
mengkonstruksi teks. Dengan kata lain prinsip ini juga berlaku pada bahasa
jurnalistik.
Terdapat empat prinsip retorika tekstual yang dikemukakan Leech, yaitu prinsip
prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dan prinsip ekspresifitas.
A. Prinsip Prosesibilitas, Menganjurkan agar teks disajikan sedemikian
rupa sehingga mudah bagi pembaca untuk memahami pesan pada waktunya. Dalam
proses memahami pesan penulis harus menentukan (a) bagaimana membagi
pesan-pesan menjadi satuan; (b) bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa
pentingnya masing-masing satuan, dan (c) bagaimana mengurutkan satuan-satuan
pesan itu. Ketiga macam itu harus saling berkaitan satu sama lain.
Penyusunan bahasa jurnalistik dalam surat kabar berbahasa Indonesia,
yang menjadi fakta-fakta harus cepat dipahami oleh pembaca dalam kondisi apa
pun agar tidak melanggar prinsip prosesibilitas ini. Bahasa jurnalistik
Indonesia disusun dengan struktur sintaksis yang penting mendahului struktur
sintaksis yang tidak penting.
Perhatikan contoh berikut:
a. Pangdam VIII/Trikora Mayjen TNI Amir Sembiring mengeluarkan perintah
tembak di tempat, bila masyarakat yang membawa senjata tajam, melawan serta
tidak menuruti permintaan untuk menyerahkannya. Jadi petugas akan meminta
dengan baik. Namun jika bersikeras dan melawan, terpaksa akan ditembak di
tempat sesuai dengan prosedur (Kompas, 24/1/99)
b. Ketua Umum PB NU KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) mengadakan
kunjungan kemanusiaan kepada Ketua
Gerakan Perlawanan Timor (CNRT) Xanana Gusmao di LP Cipinang, Selasa (2/2)
pukul 09.00 WIB. Gus Dur didampingi pengurus PBNU Rosi Munir dan staf Gus Dur,
Sastro. Turut juga Aristides Kattopo dan Maria Pakpahan (Suara Pembaruan,
2/2/99)
Contoh (a) terdiri dari dua kalimat, yaitu kalimat pertama menyatakan
pesan penting dan kalimat kedua menerangkan pesan kalimat pertama. Contoh (b)
terdiri dari tiga kalimat, yaitu kalimat pertama menyatakan pesan penting dan
kalimat kedua serta kalimat ketiga menyatakan pesan yang menerangkan pesan
kalimat pertama.
B. Prinsip kejelasan, yaitu agar teks itu mudah dipahami. Prinsip ini
menganjurkan agar bahasa teks menghindari ketaksaan (ambiguity). Teks yang
tidak mengandung ketaksaan akan dengan mudah dan cepat dipahami.
Perhatikan Contoh:
a. Ketika mengendarai mobil dari rumah menuju kantornya di kawasan
Sudirman, seorang pegawai bank, Deysi Dasuki, sempat tertegun mendengar berita
radio. Radio swasta itu mengumumkan bahwa kawasan Semanggi sudah penuh dengan
mahasiswa dan suasananya sangat mencekam (Republika, 24/11/98)
b. Wahyudi menjelaskan, negara rugi karena pembajak buku tidak membayar
pajak penjualan (PPN) dan pajak penghasilan (PPH). Juga pengarang, karena
mereka tidak menerima royalti atas karya ciptaannya. (Media Indonesia,
20/4/1997).
Contoh (a) dan (b) tidak mengandung ketaksaan. Setiap pembaca akan
menangkap pesan yang sama atas teks di atas. Hal ini disebabkan teks tersebut
dikonstruksi oleh kata-kata yang mengandung kata harfiah, bukan kata-kata
metaforis.
BACA JUGA: CARA MENULIS BERITA
C. Prinsip ekonomi. Prinsip ekonomi menganjurkan agar teks itu singkat
tanpa harus merusak dan mereduksi pesan. Teks yang singkat dengan mengandung
pesan yang utuh akan menghemat waktu dan tenaga dalam memahaminya. Sebagaimana
wacana dibatasi oleh ruang wacana jurnalistik dikonstruksi agar tidak melanggar
prinsip ini. Untuk mengkonstruksi teks yang singkat, dalam wacana jurnalistik
dikenal adanya cara-cara mereduksi konstituen sintaksis yaitu (1) singkatan;
(2) elipsis, dan (3) pronominalisasi. Singkatan, baik abreviasi maupun akronim,
sebagai cara mereduksi konstituen sintaktik banyak dijumpai dalam wacana
jurnalistik
a. Setelah dipecat oleh DPR AS karena memberikan sumpah palsu dan
menghalang-halangi peradilan, Presiden Bill Clinton telah menjadi presiden
kedua sejak berdirinya Amerika untuk diperintahkan diadili di dalam senat (Suara
Pembaruan, 21/12/98)
b. Ketua DPP PPP Drs. Zarkasih Noer menyatakan, segala bentuk dan usaha
untuk menghindari disintegrasi bangsa dari mana pun atau siapa pun perlu
disambut baik (Suara Pembaruan, 21/12/98
Pada contoh (a) terdapat abreviasi DPR AS. Pada contoh (b) terdapat
abreviasi DPP PPP. Selain itu ada abreviasi lain seperti SARA, GPK, OTB, OT,
AMD, SDM. AAK, GPK, dll. Terdapat pula
berbagai bentuk akronim dengan variasi pembentukannya walaupun seringkali tidak
berkaidah. Misalnya. Curanmor, Curas, Miras, dll.
Elipsis merupakan salah satu cara mereduksi konstituen sintaktik dengan
melesapkan konstituen tertentu.
a. AG XII Momentum gairahkan olahraga Indonesia (Suara Pembaruan,
21/12/98)
b. Jauh sebelum Ratih diributkan, Letjen (Pur) Mashudi, mantan Gubernur
Jawa Barat dan mantan Ketua Umum Kwartir Gerakan Pramuka telah menerapkan ide
mobilisasi massa. Konsepnya memang berbeda dengan ratih (Republika, 223/12/98)
Pada contoh (a) terdapat pelepasan afiks me(N)- pada verba gairahkan.
Pelepasan afiks seperti contoh (a) di atas sering terdapat pada judul wacana
jurnalistik. Pada contoh (b) terdapat pelesapan kata mobilisasi masa pada
kalimat kedua.
Pronominalisasi merupakan cara mereduksi teks dengan menggantikan
konstituen yang telah disebut dengan pronomina. Pronomina Pengganti biasanya
lebih pendek daripada konstituen terganti.
a. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia (DPP PDI)
hasil kongres Medan Soerjadi dan Sekjen Buttu Hutapea pada hari Minggu (23/8)
sekitar pukul 18.30 Wita tiba di bandara Mutiara, Palu Sulawesi Tengah, dengan
diangkut pesawat khusus. Keduanya datang untuk mengikuti Kongres V PDI, dengan
pengawalan ketat langsung menunggu
Asrama Haji dan menginap di sana. (Kompas, 24/8/98)
b. Hendro Subroto bukan militer.
Sebagai seorang warga sipil, jejak pengalamannya dalam beragam mandala
pertempuran merupakan rentetan panjang sarat pengalaman mendebarkan. Ia hadir
ketika Kahar Muzakar tewas disergap pasukan Siliwangi di perbukitan Sulsel
(Kompas, 24/8/98).
Pada contoh (a) tampak bahwa keduanya pada kalimat kedua merupakan
pronominalisasi kalimat pertama. Pada contoh (b) kata ia mempronominalisasikan
Hendro Subroto, sebagai warga sipil pada kalimat pertama dan kedua.
D. Prinsip ekspresivitas. Prinsip ini dapat pula disebut prinsip
ikonisitas. Prinsip ini menganjurkan agar teks dikonstruksi selaras dengan
aspek-aspek pesan. Dalam wacana jurnalistik, pesan bersifat kausalitas
dipaparkan menurut struktur pesannya, yaitu sebab dikemukakan terlebih dahulu
baru dikemukakan akibatnya. Demikian pula bila ada peristiwa yang terjadi
berturut-turut, maka peristiwa yang terjadi lebih dulu akan dipaparkan lebih
dulu dan peristiwa yang terjadi kemudian dipaparkan kemudian.
a. Dalam situasi bangsa yang sedang kritis dan berada di persimpangan jalan,
karena adanya benturan ide maupun paham politik, diperlukan adanya dialog
nasional. “Dialog diperlukan untuk mengubur masa lalu, dan untuk start ke masa
depan”. Tutur Prof. Dr. Nurcholis Madjid kepada Kompas di kediamannya di
Jakarta Rabu (23/12) (Kompas, 24/12/98).
Pada contoh (a) tampak bahwa kalimat pertama menyatakan sebab dan
kalimat kedua mendatangkan akibat.
Pemakaian Kata, Kalimat dan Alinea
Bahasa jurnalistik juga mengikuti kaidah bahasa Indonesia baku. Namun
pemakaian bahasa jurnalistik lebih menekankan pada daya kekomunikatifannya.
Pemakaian kata-kata yang bernas. Kata merupakan modal dasar dalam menulis.
Semakin banyak kosakata yang dikuasai seseorang, semakin banyak pula gagasan
yang dikuasainya dan sanggup diungkapkannya.
Dalam penggunaan kata, penulis yang menggunakan ragam BI Jurnalistik
dihadapkan pada dua persoalan yaitu ketepatan dan kesesuaian pilihan kata.
Ketepatan mempersoalkan apakah pilihan kata yang dipakai sudah sangat tepat,
sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang berlainan antara penulis dan
pembaca. Sedangkan kesesuaian mempersoalkan pemakaian kata yang tidak merusak
wacana.
Penggunaan kalimat efektif. Kalimat dikatakan efektif bila mampu
membuat proses penyampaian dan penerimaan itu berlangsung sempurna. Kalimat
efektif mampu membuat isi atau maksud yang disampaikan itu tergambar lengkap
dalam pikiran si pembaca, persis apa yang ditulis. Keefektifan kalimat
ditunjang antara lain oleh keteraturan struktur atau pola kalimat. Selain
polanya harus benar, kalimat itu harus pula mempunyai tenaga yang menarik.
Penggunaan alinea/paragraf yang kompak. Alinea merupakan suatu kesatuan
pikiran, suatu kesatuan yang lebih tinggi atau lebih luas dari kalimat.
Setidaknya dalam satu alinea terdapat satu gagasan pokok dan beberapa gagasan
penjelas. Pembuatan alinea bertujuan
memudahkan pengertian dan pemahaman dengan memisahkan suatu tema dari tema yang
lain.
Beberapa Jenis Bahasa Indonesia Ragam Jurnalistik
1. Berita.
Berita adalah peristiwa yang dilaporkan. Segala yang didapat di
lapangan dan sedang dipersiapkan untuk dilaporkan belum disebut berita.
Wartawan yang menonton dan menyaksikan peristiwa, belum tentu telah menemukan
peristiwa. Wartawan sudah menemukan peristiwa setelah ia memahami prosesnya
atau jalan cerita, yaitu tahu APA yang
terjadi, SIAPA yang terlibat,
kejadiannya BAGAIMANA, KAPAN, dan DI MANA itu terjadi, dan MENGAPA sampai terjadi.
Keenam itu yang disebut unsur berita.
BACA JUGA: CARA MENULIS BERITA
Suatu peristiwa dapat dibuat berita bila paling tidak punya satu NILAI
BERITA seperti berikut.
a. Kebermaknaan (significance). Kejadian yang berkemungkinan akan
mempengaruhi kehidupan orang banyak atau kejadian yang punya akibat terhadap
pembaca. Contoh: Kenaikan BBM, tarif TDL, biaya Pulsa telepon, dll.
b. Besaran (magnitude). Kejadian yang menyangkut angka-angka yang
berarti bagi kehidupan orang banyak. Misalnya: Para penghutang kelas kakap yang
mengemplang trilyunan rupiah BLB.
c. Kebaruan (timeliness). Kejadian yang menyangkut peristiwa yang baru
terjadi. Misalnya, pemboman Gereja tidak akan bernilai berita bila diberitakan
satu minggu setelah peristiwa.
d. Kedekatan (proximity). Kejadian yang ada di dekat pembaca. Bisa
kedekatan geogragfis atau emosional. Misalnya, peristiwa tabrakan mobil yang
menewaskan pasangan suami isteri, lebih bernilai berita daripada Mac Dohan
jatuh dari arena GP 500.
e. Ketermukaan/sisi manusiawi. (prominence/human interest). Kejadian
yang memberi sentuhan perasaan para pembaca. Kejadian orang biasa, tetapi dalam
peristiwa yang luar biasa, atau orang luar biasa (public figure) dalam
peristiwa biasa. Misalnya, anak kecil yang menemukan granat siap meledak di rel
kereta api, atau Megawati yang memiliki hobby pada tanaman hias.
Berita jurnalistik dapat digolongkan menjadi (a) berita langsung
(straight/hard/spot news), (b) berita ringan (soft news), berita kisah
(feature) serta laporan mendalam (in-depth report).
Berita langsung digunakan untuk menyampaikan kejadian penting yang
secepatnya diketahui pembaca. Aktualitas merupakan unsur yang penting dari
berita langsung. Kejadian yang sudah lama terjadi tidak bernilai untuk berita
langsung. Aktualitas bukan hanya menyangkut waktu tetapi jug sesuatu yang baru
diketahui atau diketemukan. Misalnya, cara baru, ide baru, penemuan baru, dll.
Berita ringan tidak mengutamakan unsur penting yang hendak diberitakan
tetapi sesuatu yang menarik. Berita ini biasanya ditemukan sebagai kejadian
yang menusiawi dari kejadian penting. Kejadian penting ditulis dalam berita
langsung, sedang berita yang menarik ditulis dalam berita ringan. Berita ringan
sangat cocok untuk majalah karena tidak terikat aktualitas. Berita ringan
langsung menyentuh emosi pembaca misalnya keterharuan, kegembiraan, kasihan,
kegeraman, kelucun, kemarahan, dll.
2. Berita Kisah (Feature)
Berita kisah adalah tulisan tentang kejadian yang dapat menyentuh
perasaan atau menambah pengetahuan pembaca lewat penjelasan rinci, lengkap,
serta mendalam. Jadi nilainya pada unsur manusiawi dan dapat menambah
pengetahuan pembaca.
Terdapat berbagai jenis berita kisah di antaranya (a) profile feature,
(b) How to do it Feature, (c) Science Feature, dan (d) human interest feature.
a. Profile feature menceritakan perjalanan hidup seseorang, bisa pula
hanya menggambarkan sepak terjang orang tersebut dalam suatu kegiatan dan pada
kurun waktu tertentu. Profile feature tidak hanya cerita sukses saja, tetapi
juga cerita kegagalan seseorang. Tujuannya agar pembaca dapat bercermin lewat
kehidupan orang lain.
b. How to do It feature, berita yang menjelaskan agar orang melakukan
sesuatu. Informasi disampaikan berupa petunjuk yang dipandang penting bagi
pembaca. Misalnya petunjuk berwisata ke Pulau Bali. Dalam tulisan itu
disampaikan beberapa tips praktis rute perjalanan (drat, laut, udara), lokasi
wisata, rumah makan dan penginapan, perkiraan biaya, kualitas jalan, keamanan,
dll..
c. Science Feature adalah tulisan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
ditandai oleh kedalaman pembahasan dan objektivitas pandangan yang dikemukakan,
menggunakan data dan informasi yang memadai. Feature ilmu pengetahuan dan
teknologi dapat dimuat di majalah teknik, komputer, pertanian, kesehatan,
kedokteran, dll. Bahkan surat kabar pun sekarang memberi rubrik Science
Feature.
d. Human interest features , merupakan feature yang menonjolkan hal-hal
yang menyentuh perasaan sebagai hal yang menarik, termasuk di dalamnya adalah
hobby dan kesenangan. Misalnya, orang yang selamat dari kecelakaan pesawat terbang
dan hidup di hutan selama dua Minggu. Kakek berusia 85 tahun yang tetap
mengabdi pad lingkungan walaupun hidup terpencil dan miskin.
Tips Menulis Berita
1. Tulislah berita yang menarik dengan menerapkan gaya bahasa
percakapan sederhana . Tulislah berita dengan lead yang bicara. Untuk menguji
lead anda “berbicara” atau “bisu” cobalah dengan membaca tulisan yang
dihasilkan. Jika anda kehabisan nafas dan tersengal-sengal ketika membaca maka
led anda terlalu panjang.
2. Gunakan kata/Kalimat Sederhana. Kalimat sederhana terdiri dari satu
pokok dan satu sebutan. Hindari menulis dengan kata keterangan dan anak
kalimat. Ganti kata-kata yang sulit atau asing dengan kata-kata yang mudah.
Bila perlu ubah susunan kalimat atau alinea
agar didapat tulisan yang “mengalir”. Ingat KISS (Keep It Simple and
Short)
3. Hindari kata-kata berkabut. Kata-kata berkabut adalah tulisan yang
berbunga-bunga, menggunakan istilah teknis, ungkapan asing yang tidak perlu dan
ungkapan umum yang kabur. Yang diperlukan BI ragam jurnalistik adalah
kejernihan tulisan (clarity).
4. Libatkan pembaca. Melibatkan pembaca berarti menulis berita yang
sesuai dengan kepentingan, rasa ingin tahu, kesulitan, cita-cita, mimpi dan
angan-angan. Tapi ingat: jangan sampai terjebak menulis dengan gaya menggurui
atau menganggap enteng pembaca. Melibatkan pembaca berarti mengubah soal-soal
yang sulit menjadi tulisan yang mudah dimengerti pembaca. Melibatkan pembaca
juga didapat dengan menulis sesuai rasa keadilan yang hidup di masyarakat.
5. Gantilah kata sifat dengan kata kerja.
Baca kalimat ini: “Seorang perempuan tua yang kelelahan bekerja di
sawahnya!” Bandingkan dengan: “Seorang perempuan tua membajak, kepalanya
merunduk, nafas Nya tersengal-sengal!”
6. Gunakan kosakata yang tidak memihak.
Baca kalimat ini: “Seorang ayah memperkosa anak gadisnya sendiri yang
masih Berusia 12 tahun.”
Bandingkan dengan: “Perkosaan menimpa anak gadis yang berusia 12
tahun.”
7. Hindari pemakaian eufemisme bahasa.
Baca kalimat: Selama musim kemarau terjadi rawan pangan di Gunung Kidul
Bandingkan dengan: Selama musim kemarau terjadi kelaparan di Gunung
Kidul.
Dengan paparan bahasa jurnalistik seperti yang telah diuraikan dapat
disimpulkan bahwa bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan oleh jurnalis
dalam menulis berita. Bahasa jurnalistik bersifat khas yaitu singkat, padat,
sederhana, lugas, menarik, lancar dan jelas.
Terdapat empat prinsip retorika tekstual bahasa jurnalistik yaitu
prinsip prosesibilitas, mudah dipahami pembaca. Prinsip kejelasan yaitu menghindari
ambiguitas. Prinsip ekonomi, menggunakan teks yang singkat tanpa merusak dan
mereduksi pesan. Prinsip ekspresivitas, teks dikonstruksi berdasarkan
aspek-aspek pesan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan (1991). Bahasa Jurnalistik dan Komposisi. Jakarta: Pradnya Paramita.
Anderson, Benedick ROG. (1966). Bahasa Politik Indonesia. Indonesia I, April : hal 89-116.
Anderson, Benedick ROG. (1984). Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. London: Cornell University Pres.
Asegaf, Dja’far H. (1982) Jurnalistik Masa Kini: Pengantar ke Praktik Kewartawanan. Jakarta: Ghalia Indonesia
Badudu, J.S. (1988). Cakrawala Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS.
Halliday, MAK. (1972). “Language Function and Language Structure” New Horizon of Linguistics. London: Penguin Book.
Leech, Geoffrey. (1993). Prinsip-prinsip Pragmatik (Alih Bahasa DD Oka). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Oetama, Jacob. (1987). Perspektif Pers Indonesia. Jakarta: LP3ES.
McGoldrick, Annabel dan Lynch, Jake (2000). Jurnalisme Perdamaian Bagaimana Melakukannya?. Sydney: Seri Workshop LSPP, November 2000.
Reah, Danuta (2000). The Language of Newspaper. New York: Roudledge.
Sudaryanto (1995). Bahasa Jurnalistik dan Pengajaran Bahasa Indonesia. Semarang: Citra Almamater.
Suroso (2001). Menuju Pers Demokratis: Kritik atas Profesionalisme Wartawan. Yogyakarta: LSIP.
0 Komentar